Jumat, 24 Juni 2011

PERANAN KOGNITIF DAN KOGNISI DALAM PEMBELAJARAN


PERANAN  KOGNITIF DAN KOGNISI
DALAM   PEMBELAJARAN
Oleh  : Siti Hodijah, S.Pd

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1  Latar Belakang                               
           
 Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Belajar adalah kunci yang paling vital dalam kehidupan manusia, khususnya dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar tidak akan pernah ada pendidikan. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Sebagai  suatu proses, belajar hampir selalu mendapat perhatian yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pendidikan. Salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang mungkin disebabkan oleh terjadinya peningkatan pengetahuan, keterampilan yang dimilikinya. Begitu pentingnya  pendidikan untuk mengkaji  bagaimana tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai perubahan manusia dan bagaimana proses belajar terjadi.
Belajar dengan menggunakan indera ganda, pandang dan dengar akan memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak daripada jika materi pelajaran disajikan hanya dengan stimulus pandang atau hanya dengan stimulus dengar. Proses belajar yang diselenggarakan disekolah dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan pada diri siswa secara terencana, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar.  Kemamupan manusia untuk merubah diri membuat manusia bebas berekspolarisasi, memilih dan menetapkan keputusan – keputusan penting dalam hidupnya. Perubahan yang terjadi dalam diri manusia ditentukan oleh kemampuan dan kemauan belajarnya , sehingga peradapan manusia itupun tergantung dari bagaimana manusia itu belajar. Belajar juga mempunyai peranan penting dalam mempertahankan sekelompok manusia ditengah persaingan yang semakin ketat dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu maju  karena belajar.       
Menyadari hal tersebut, maka guru haruslah memperhatikan kebutuhan peserta didik dengan berupaya mengacu pada kurikulum dan  dengan model desain pembelajaran agar peserta didik belajar lebih aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam pelaksanaan pembelajaran , baik dari segi kognitif, behavioristik ataupun humanistik. Pendidikan di Indonesia selama ini belum mampu membangkitkan kemauan peserta didik untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Cukup banyak orang pandai dan terampil di Indonesia. Masalahnya bagimana agar mereka memiliki kemauan untuk memanfaatkan kepandaian dan keterampilannya untuk memecahkan permasalahan masyarakat dan bangsa khususnya dalam pembangunan pendidikan, dimana hal ini tidak lepas dari peranan guru sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan yang memiliki kemampuan professional untuk pembelajaran yang berkualitas.
               
1.2.  Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui   pengertian  kognitif dan kognisi dalam pembelajaran
  2. Untuk mengetahui cara mengembangkan kognitif dan kognisi anak
  3. Untuk mengetahui  hubungan kognitif dan kognisi dalam strategi pembelajaran

1.3.   Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian  kognitif dan kognisi dalam pembelajaran?
  2. Bagaimana cara mengembangkan kognitif dan kognisi anak ?
  3. Bagaimana  hubungan kognitif dan kognisi dalam strategi pembelajaran?



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pngertian  kognitif dan kognisi dalam pembelajaran
Kognitif diartikan sebagai pengetahuan yang luas, daya nalar, kreativitas (daya cipta), kemampuan berbahasa, serta daya ingat. Seperti halnya komputer, otak manusia juga menerima  informasi, memprosesnya kemudian memberi jawaban. Proses jalannya informasi tersebut pada manusia disebut kognisi. Kualitas perkembangan kognitif, diusahakan pendidikan dan latihan yang lebih ditujukan pada latihan meneliti dan menemukan, yang memerlukan  berfungsinya kedua belahan otak.
       Pengolahan Informasi dan Proses Eksekutif Metakognisi :
  1. Para ahli psikologi melakukan pengolahan informasi untuk memahami  bagaimana anak menafsirkan, menyimpan, mendapatkan kembali dan mengevaluasi informasi.
  2. Metakognitif adalah pengetahuan seorang anak mengenal dan mengendalikan fungsi kognitif mereka sendiri. Salah satu jenis metakognitif adalah  metamemori.
  3. Ada 8 proses eksekutif atau fungsi metakognitif yaitu:
a.       Formulasi masalah dan kemungkinan pemecahannya.
b.      Kesadaran akan proses kognitif yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
c.       Aktivitas kaidah dan strategi kognitif.
d.      Fleksibilitas yang meningkat.
e.       Kontrol atas distraksi dan ansietasi.
f.       Pemonitoran atas proses pemecahan masalah.
g.      Kesetiaaan dalam pemikiran.
h.      Keinginan untuk pemecahan yang bagus           
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang kebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.  Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, berkesinambungan, dan menyeluruh.
Seorang guru yang berorientasi pada teori kognitif berkeinginan untuk mengubah pemahaman siswanya, sebagaimana berikut :
1.      Dorongan/motivasi belajar Anak secara aktif mencari pengetahuan
2.      Anak Terlatih dengan bakat, minat dan prestasi tertentu
3.      Peran guru Sebagai fasilitator agar pertimbangan prestasi anak optimal
4.      Hasil belajar Struktur pengetahuan, cara berpikir, cara belajar
Implikasi dari teori kognitif di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalaman, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini.
Menurut Jean Peaget  peranan dan fungsi kawasan kognisi terhadap proses pembelajaran  sebagai  :
1.      Strategi dimana siswa menggunakan kontrol dan pengawasan dalam proses memperoleh pengetahuan yang dimilikinya
2.      Usaha yang digunakan dalam pembelajaran dalam proses pemikiran
3.      Cara mental yang mengarah pada kreatifitas, inspirasi dan menemukan kebiasaan  perilaku pada individu dalam bekerja menjalin informasi dan  dan pemecahan masalah pada setiap individu
4.      Cara mental dalam proses pemecahan dan penilaian informasi.
Dalam pemprosesan informasi terdapat dua proses kognitif yang sangat penting yaitu atensi dan memori. Atensi adalah pemusatan atau pemfokusan usaha mental yang bersifat selektif dan beralih. Sedangkan memori adalah penyimpanan informasi sepanjang waktu yang merupakan pusat bagi kehidupan mental dan pemrosesan informasi. Memori terbagi menjadi dua yaitu memori jangka pendek dan memori jangka panjang.  
Pemantauan kognitif (cognitive monitoring) adalah proses pencatatan hal-hal yang sedang dikerjakan, apa yang akan dikerjakan kemudian, dan seberapa efektif kegiatan mental tersebut berkembang. Pemantauan kognisi selain untuk memahami dan memecahkan masalah sosial juga penting dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan aspek non sosial dari inteligensi. Misalnya saat  sedang mengerjakan soal matematika, yang terdiri dari banyak soal dan membutuhkan waktu yang panjang, ia akan menentukan jenis masalah yang dikerjakan dan cara terbaik untuk memecahkannya.
Dengan begitu mereka dapat menilai apakah jalan yang dilakukannya berhasil atau tidak. Orang tua, guru, dan teman sebaya dapat menjadi sumber yang efektif untuk meningkatkan pemantauan kognitif remaja. Pengajaran timbal balik adalah strategi pengajaran yang semakin banyak dipakai. Sedangkan Pemrosesan informasi sosial memusatkan perhatian pada cara seseorang menggunakan proses kognitifnya, seperti perhatian, persepsi, ingatan, pemikiran, penalaran, harapan dan seterusnya untuk memahami dunia sosial mereka.
Berkaitan erat dengan keterampilan pengambilan keputusan yang tepat adalah berpikir kritis. Berpikir kritis meliputi kemampuan seseorang untuk memahami makna yang mendalam dari suatu masalah, keterbukaan pikiran terhadap berbagai pendekatan atau pandangan yang berbeda, dan menentukan sendiri hal yang diyakininya. Agar pemikiran kritis dapat berkembang secara efektif, dibutuhkan dasar yang kuat dalam hal keterampilan dan pengetahuan dasar di masa kanak-kanak.

2.2  Cara  Mengembangkan Kognitif dan Kognisi Anak Sekolah Dasar   
2.2.1 Pandangan dan Prinsip Dasar Vygotsky Tentang Perkembangan Kognitif 
Vygotsky mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya dan dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).
                  Vygotsky mengemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut sebagai pendekatan konstruktivisme (proses mengkonstruksi pengetahuan baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya). Konsep-konsep penting teori Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan teori revolusi-sosiokultural adalah hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona perkembangan proksimal (zone of proksimal development), dan mediasi

KONSEP  SOSIOKULTURAL
                   Teori Vygotsky   menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
                 Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.

PERKEMBANGAN BAHASA
Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya. Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum). Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989). Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak terdengar lagi.

ZONA PERKEMBANGAN PROKSIM
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa  anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).

KONSEP SCAFFOLDING
                       Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya. Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
1.             Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting   bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
2.             Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif ( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3.             Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai. Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan scaffolding (Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.

KONSTRUKTIVISME
                      Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini.
Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat mengasimilasi pengertiannya. Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi sebaik psikologi.
                     Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme. Penyelidikan atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris ” Frances Bacon” memberikan ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan.  Pendukung konstruktivisme percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat informasi yang kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya.
                       Pada konstruktivis, kegiatan mengajar adalah proses membantu pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk dimengerti, tetapi pengetahuan merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi dengan pengertian sebelumnya dari pelajar. Para konstruktivisme menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar mencintai pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward, sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal. Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek interaksi siswa dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan, Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa. 

2.2.2  Membangun  Kognitif dan Kognisi Pada Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan uraian pada teori di atas, maka dalam membangun pengetahuan pada anak, khususnya anak usia sekolah dasar, guru terlebih dahulu harus memahami inti dari setiap pengetahuan yang akan dibangun pada anak. Karena pengetahuan didapat dari interaksi terhadap lingkungan sekitar. Dalam membangun pengetahuan pada anak, guru juga harus memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak yang sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam berpikir. Guru harus memiliki keterampilan dalam membangun pengetahuan sesuai dengan kemampuan berpikir anak.
Perubahan merupakan proses bukan hasil, oleh karena itu dalam membangun pengetahuan pada anak untuk memahami proses sangatlah sulit, karena diperlukan lingkungan yang dapat merangsang perkembangan kemampuan berpikir anak. Misalnya, jika anak melihat seekor kucing berlari ke belakang pohon, diharapkan bahwa anak tidak berpikir kucing itu hilang begitu saja, tetapi diharapkan anak mampu menjelaskan posisi kucing itu sekarang. Artinya anak juga mampu membuat perbedaan antara tidak ada dengan tersembunyi.
Membangun pengetahuan pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Membangun pengetahuan pada anak haruslah berdasarkan kepada bermain dan permainan. Dengan melalui kegiatan bermain anak-anak dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan. Bermain antara lain membantu perkembangan tubuh, perkembangan emosional, perkembangan sosial, perkembangan kognitif dan moral serta kepribadian maupun bahasa. Bermain juga bisa dijadikan media untuk membina hubungan yang dekat antar anak, atau anak dengan orang tua/guru/orang dewasa lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif.

2.2.3    Peran Guru dalam  Mengembangkan kognitif dan Kognisi pada Anak               
Sekolah Dasar
                    Pada usia anak di Sekolah Dasar, guru harus memberikan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk perkembangan diri kelak, baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler. Selain itu, seorang anak akan menghadapi berbagai tugas perkembangan, seperti belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, membentuk konsep diri yang baik, mulai mengembangkan peran sosial sesuai gender-nya serta mengembangkan hati nurani, akhlak dan tata nilai pengertian. Pada masa itu pula seorang anak tidak saja membutuhkan bimbingan dari orang tua, tetapi juga guru, tokoh-tokoh masyarakat lainnya dan juga teman-teman. Selain itu, kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar juga memegang peran kritis, tidak seperti ketika berusia balita, dimana pengalaman belajar tersebut dilakukan hanya dengan bantuan orang tua dan orang di sekitar lingkungan terdekatnya. 
Salah satu cara anak agar proses belajar mereka memperoleh pengetahuan adalah melalui kegiatan bermain sambil belajar. Dengan bermain dan belajar, seorang anak akan memperoleh kesempatan untuk mempelajari berbagai hal baru. Belajar dan bermain bagi mereka juga merupakan sarana dalam mengembangkan berbagai keterampilan sosialnya. Kegiatan bermain dan belajar mereka akan mengembangkan otot dan melatih gerakan motorik mereka di dalam penyaluran energi yang berlebih. Dengan adaanya kegiatan belajar dan bermain, seorang anak akan menemukan bahwa merancang suatu hal baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan dan pada akhirnya seorang anak akan menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Khusus mengenai pemahaman tentang peranan guru sebagai orang terdekat anak di sekolah harus pula dirubah. Guru tidak lagi sebagai orang dewasa dan pembimbing yang hanya mengatur dan menjalankan kurikulum. Guru adalah orang dewasa sangat harus disukai anak. Peran guru sebagai teman, model, motivator, dan fasilitator akan menjadikan anak senang datang ke sekolah dan akan menjadikan setiap proses belajar menjadi bermakna. Inilah yang akan selalu dituntut oleh masyarakat diera pengetahuan dimana guru menjadi seorang profesional. Ia juga akan dituntut kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi seperti ini harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.

2.2.4 Metode yang Digunakan pada Pengembangan Kognitif dan kognisi anak
                    Metode merupakan bagian dari strategi kegiatan. Setiap guru Sekolah Dasar menggunakan metode sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Demikian pula halnya dengan pembelajaran sains. Harus dipilih metode yang sesuai, sehingga materi untuk pembelajaran sains yang diajarkan guru mudah dimengerti oleh siswa. Akan tetapi, sebagai alat untuk mencapai tujuan tidak selamanya metode berfungsi secara optimal. Oleh karena itu dalam memilih metode, guru sekolah dasar perlu memiliki alasan yang kuat dan perlu memperhatikan karakteristik tujuan dan karakteristik anak yang dibinanya.
Sesuai dengan karakteristik, tidak semua metode mengajar cocok digunakan pada program kegiatan anak sekolah dasar, khususnya untuk mata pelajaran sains, seperti metode ceramah, kurang cocok karena menuntut anak memusatkan perhatian dalam waktu cukup lama, padahal rentang waktu perhatian anak relatif singkat.
Metode mengajar yang sesuai dengan karakteristik anak usia Sekolah Dasar ditinjau dari pendekatan teori belajar menurut Vygotsky adalah: pemberian tugas, demonstrasi, tanya jawab, bercerita, karyawisata, dan bermain peran. 
Karateristik dari masing-masing metode sebagaimana yang akan dijelaskan berikut :
a.      PemberianTugas
Metode pemberian tugas adalah suatu cara penyajian pelajaran dengan cara guru memberi tugas tertentu kepada siswa dalam waktu yang telah ditentukan dan siswa mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan kepadanya.
Jenis tugas yang sering digunakan dalam proses pembelajaran adalah tugas latihan. Davies (dalam Moedjiono dan Dimyati, 1992:69) mengemukakan bahwa ”Tugas latihan merupakan tugas untuk melatih siswa menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pembahasan sebelumnya” Tugas latihan diberikan pada jam pelajaran atau diluar jam pelajaran, disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan waktu.
Ditinjau dari teori belajar Vygotsky, maka pemberian tugas yang cocok adalah pemberian tugas kelompok, dimana siswa belajar bersosialisasi dengan teman sekelompok, mau berbagi ilmu yang diketahui kepada teman lain, mau bertanya jika belum mengerti, serta belajar untuk bekerjasama tanpa terus berharap pada kemampuan orang lain atau sebaliknya, terlalu percaya pada kemampuan diri sendiri, sehingga tidak menghargai orang lain.
Pelaksanaan pengerjaan tugas oleh siswa sebaiknya dapat dipantau, sehingga dapat diketahui bahwa tugas tersebut betul-betul dikerjakan oleh siswa sendiri. Pemeriksaan tugas dilakukan sebaik mungkin, artinya tidak ditangguhkan sampai tugas berikutnya. Jika tugas anak tidak diperiksa sebagaimana mestinya anak akan kecewa dan akhirnya tidak akan menghiraukan tugas berikutnya.
b.      Demostrasi  
Metode demonstrasi adalah suatu cara penyajian pelajaran dengan penjelasan lisan disertai perbuatan atau memperlihatkan suatu proses tertentu yang kemudian diikuti atau dicoba oleh siswa untuk melakukannya. Dalam demonstrasi, guru atau siswa melakukan suatu proses yang desertai penjelasan lisan.
Dalam proses pembelajaran sains di sekolah dasar, terkait dengan teori belajar Vygotsky kegiatan demonstrasi dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan proses perubahan wujud zat secara fisika dan kimia, secara kimia dengan membakar kertas, guru dapat menunjukkan bahwa dengan perubahan wujud secara kimia, benda tidak dapat kembali ke bentuk semula. Sedangkan proses perubahan fisika dapat ditunjukkan dengan menggunakan es batu, yang nantinya dapat berubah wujud menjadi es, dan jika didinginkan lagi dapat berubah kembali menjadi es.
c.       Tanya jawab  
Metode tanya jawab adalah suatu cara menuajikan bahan pelajaran dalam bentuk pertanyaan dari guru yang harus dijawab oleh siswa atau sebaliknya, baik secara lisan ataupun tertulis. Setiap pertanyaan yang diajukan guru untuk memotivasi aktvitas dan kreativitas siswa serta untuk menemukan sendiri informasi pengetahuan baru sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang ingn dicapai. Dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar, seorang guru harus mengajukan pertanyaan yang merangsang siswa untuk berpikir, jelas dan tidak menimbulkan banyak tafsiran, singkat dan mudah dipahami oleh siswa, serta disesuaikan dengan kemampuan berpikir siswa. Dalam kaitannya dengan teori belajar menurut Vygotsky, maka proses tanya jawab yang terjadi hendaknya, melibatkan aktivitas siswa dengan lingkungannya. Misalnya cara perpindahan panas dengan konduksi, konveksi dan radiasi. Guru mungkin dapat mengajukan pertanyaan : Apakah sinar matahari sampai ke bumi memerlukan zat perantara ?
d.      Karyawisata
Usman dan Setiawati (2001:131) mengemukakan bahwa metode karyawisata adalah suatu cara penyajian pelajaran dengan membawa para siswa langsung kepada objek tertentu untuk dipelajari, yang terdapat diluar kelas, dengan bimbingan guru.
Dalam pembelajaran sains di SD, sehubungan dengan teori belajar menurut Vygotsky, metode karyawisata jelas sangat sesuai, karena dengan karyawisata siswa belajar berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Guru dapat membagi siswa dalam beberapa kelompok dan meminta siswa untuk membedakan antara individu, populasi, lingkungan, dan komunitas.
e.       Bermain Peran
Salah satu metode yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sains di sekolah dasar, sesuai dengan teori belajar Vygotsky adalah bermain peran. Menurut arti katanya, simulasi berarti tiruan atau suatu perbuatan yang bersifat pura-pura saja (Ahmadi dan Prasetya, 1997:83).
Dalam proses pembelajaran, simulasi dapat diartikan sebagai cara penyajan materi pelajaran dengan menggunakan situasi tiruan untuk menggambarkan keadaan sebenarnya agar diperoleh pemahaman tentang suatu konsep, prinsip, pengetahuan, atau keterampilan tertentu.
Sebagai contoh dalam pembelajaran sains di SD, yaitu pada materi alat pernapasan pada hewan. Setiap siswa dapat berpura-pura untuk menjadi hewan yang biasa ada di lingkungan kehidupannya sehari-hari, kemudian menjelaskan alat-alat pernapasan dalam bentuk bermain peran di dalam kelas. Ada yang menjadi burung, ikan, serangga, cacing, ataupun binatang lainnya. Dengan demikian siswa akan lebih mudah mengingat alat-alat pernapasan pada hewan, dibandingkan jika siswa harus menghafalnya.
2.3  Hubungan kognitif dan kognisi dalam strategi  pembelajaran
2.3.1 Kedudukan Media dalam sistem pembelajaran
                    Sebelum membahas tentang sistem pembelajaran. Perlu dipahami terlebih dahulu kata sistem. Sistem adalah Sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari sejumlah komponen atau bagian yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena didalamnya mengandung komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Komponen – komponen tersebut meliputi : tujuan, materi, metode, media dan evaluasi. Masing-masing komponen saling berkaitan erat merupakan satu kesatuan.  
                       Proses perancangan pembelajaran selalu diawali dengan perumusan tujuan instruksional khusus sebagai pengembangan dari tujuan instruksional umum. Dalam kurikulum 2006 perumusan indikator selalu merujuk pada kompetensi dasar dan kompetensi dasar selalu merujuk pada standar kompetensi. Usaha untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran dibantu oleh penggunaan alat bantu pembelajaran yang tepat dan sesuai karakteristik komponen penggunannya. Setelah itu guru menentukan alat dan melaksansakannya evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat menjadi bahan masukan atau umpan balik kegiatan yang telah dilaksanakan. Apabila ternyata hasil belajar siswa rendah, maka kita mengidentifikasi bagian-bangain apa yang mengakibatkannya. Khususnya dalam penggunaan media, maka perlu melihat bagaimana efektivitas apakah yang menjadi faktor penyebabnya.

2.3.2MediaDalamPengembanganKognitif
                      Media adalah segala sesuatu yang dapat dipakai atau dimanfaatkan untuk merangsang daya pikir, perasaan, perhatian, dan kemampuan anak sehingga media tersebut mampu mendorong terjadinya proses belajar mengajar pada diri anak. Pemahaman disini tidak hanya terbatas kepada sarana dan wahana fisik untuk menyalurkan pesan melainkan juga mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia, dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran. 
Media pembelajaran yang baik sangat diperlukan untuk mencapai pembelajaran yang berkualitas tinggi. Media yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, khususnya yang sesuai dengan teori belajar menurut Vygotsky harus berdasarkan asumsi bahwa kondisi pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang berbeda memerlukan media yang berbeda. Asumsi ini banyak diabaikan oleh guru yang berakibat pada rendahnya kualitas pemahaman yang diterima anak.                   
                        Dengan demikian kita bisa memahami pula bahwa media yang digunakan haruslah mampu membawa anak kepada dunia mereka. Dunia anak adalah dunia bebas dan murni untuk menciptakan berbagai hal yang kreatif, berekspresi, bermain, dan belajar. Jikapun guru akan mengajarkan belajar baca, tulis dan hitung bagi siswa maka guru tentu harus melalui kegiatan yang menyenangkan dan tidak formal sehingga dirasakan sebagai bagian dari kegiatan bermain. Janganlah hal itu seperti dipaksakan sebab bila hal itu terjadi maka akan membuat psikis anak menjadi sakit. Anak-anak Sekolah Dasar perlu belajar secara konstruktif, terus-menerus mengembangkan kemampuan melalui permainan, melalui hal kongkret yang dapat dijangkau panca indra anak secara dekat.
Keterlibatan yang bisa guru lakukan terhadap siswa haruslah berorientasi kepada kegiatan pemecahan masalah sederhana, pengembangan keterampilan kognitif seperti bercerita, pengembangan kemampuan mengurus diri sendiri, menggambar bebas, mensosialisasikan tulisan dengan bunyinya mendengarkan, dan bergerak bebas. Misalnya saja, Budi yang menggambar tanpa kita tahu artinya, kita beri kebebasan dia mengekspresikan hasil gambarnya dengan cerita verbalnya.  

2.3.3 Penerapan Media dalam Pengembangan Kognitif Anak
Levie & Lentz mengemukakan empat fungsi media pengajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi, (b) fungsi afektif, (c) fungsi kognitif, dan (d) fungsi kompensatoris. Fungsi atensi media merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Fungsi kognitif media visual yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Fungsi kompensatoris media pengajaran memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pengajaran berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Dunia pendidikan sekolah dasar sangat mengharapkan kehadiran media pembelajaran yang mampu mengembangkan domain kognitif anak yang bermutu tinggi. Kehadiran media seperti ini tidak bermakna apapun jika guru tidak mampu mengembangkan dan menggunakannya secara maksimal. Oleh karena itulah guru masih memiliki peranan dominan dalam menarik minat belajar anak serta mendukung perkembangan anak.
Pembelajaran di sekolah dasar memang membutuhkan berbagai alat peraga, media, permainan, dan alat bantu lainnya karena memang usia anak sekolah di sekolah dasar masih membutuhkan hal itu semua. Oleh karena itu guru sekolah dasar harus lebih kreatif, imajinatif, dan komunikatif dalam menciptakan atau menemukan berbagai alat permainan dan media untuk anak mereka. 
Dalam proses pembelajaran sains di sekolah dasar media yang sesuai adalah media yang dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam proses pembelajaran. Media yang sesuai antara lain dengan menggunakan buku-buku yang bergambar menarik, sehingga siswa tertarik untuk belajar, selain itu dapat menggunakan KIT-KIT yang sesuai untuk demonstrasi-demonstrasi yang sesuai dengan materi pelajaran sekolah, atau guru dapat menggunakan media yang tersedia di sekitar lingkungan kelas untuk meningkatkan motivasi siswa untuk belajar.
Masalah aplikasi dalam penggunaan media dan pengajaran di sekolah dasar adalah masalah yang harus berdasarkan dengan kehidupan yang sesungguhnya dan harus membantu anak-anak menyadari bahwa pelajaran dan permainan yang mereka peroleh merupakan satu proses yang berguna dan penting. Apabila suatu masalah diberikan, anak-anak bisa melihat manfaatnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan 
Vygotsky mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya dan dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).
Membangun pengetahuan pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Membangun pengetahuan pada anak haruslah berdasarkan kepada bermain dan permainan. Dengan melalui kegiatan bermain anak-anak dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan. Bermain antara lain membantu perkembangan tubuh, perkembangan emosional, perkembangan sosial, perkembangan kognitif dan moral serta kepribadian maupun bahasa. Bermain juga bisa dijadikan media untuk membina hubungan yang dekat antar anak, atau anak dengan orang tua/guru/orang dewasa lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif.
Metode mengajar yang sesuai dengan karakteristik anak usia Sekolah Dasar ditinjau dari pendekatan teori belajar menurut Vygotsky adalah: pemberian tugas, demonstrasi, tanya jawab, bercerita, karyawisata, dan bermain peran
Media yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, khususnya yang sesuai dengan teori belajar menurut Vygotsky harus berdasarkan asumsi bahwa kondisi pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang berbeda memerlukan media yang berbeda. Asumsi ini banyak diabaikan oleh guru yang berakibat pada rendahnya kualitas pemahaman yang diterima anak.

3.2 Saran
                        Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya melihat hasil belajar siswa dari berbagai sudut kinerja psikologis yang utuh dan menyeluruh, baik dari segi kognitif, behavioristik ataupun humanistik. Dari segi kognitif, guru hendaknya dapat memilih metode dan media yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak, sehingga hasil belajar dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan.


DAFTAR PUSTAKA


Usman Uzer dan Setiawati Lilis.
2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya
Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta : Raja Grafindo
http://wijayalabs.blogspot.com/2007/11/media-pembelajaran.html
http://www.unisla.ac.id/content/view/20/9
http://www.blogger.com/feeds/8448731080978427505/posts/default
http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/04/kegunaan-media-komun

1 komentar:

  1. terima kasih saya sudah meulai memahami peranan kognitif dan kognisi
    My blog

    BalasHapus